This One Year

Satu tahun berlalu sudah sejak terakhir mengunjungi teman katarsisku. Biarkan aku melepas rindu dan mengucapkan salam perjumpaan kembali.

Jakarta, di sinilah aku berlabuh setahun ini, melanjutkan bab baru dalam hidupku. Bertemu orang baru dan hal-hal baru.

Jakarta, mungkin untuk beberapa orang adalah harapan sebuah kehidupan baru yang lebih baik. Tapi, untukku sendiri, Jakarta adalah sebuah cerita dengan berbagai paradoks bahkan di sudut terkecil dan terpencil kota ini.

Di kota ini, aku memulai peran dalam babak baru kehidupanku. Pelajaran yang begitu menempa hidupku, seorang gadis dari kota kecil pindah ke kota besar. Kota yang selalu menawarkan keramahan dan toleransi yang cukup tinggi kemudian harus berpindah ke sebuah kota besar yang menawarkan segalanya baik dan buruk yang harus lebih bijak untuk dipilah dan dipilih.

Satu, dua, tiga bulan awal begitu berat. Mungkin benar istilah “Ibukota lebih kejam dari ibu tiri” itulah yang kurasakan ketika awal-awal tinggal di Jakarta. Tingkat stress di kantor dan di jalan yang tinggi, orang-orang dengan kesabaran yang terbatas dan mengandalkan suara tinggi dan emosinya. Yah begitulah Jakarta, pikirku.

Banyak kejadian yang terjadi selama aku di kota ini. Jatuh bangun dengan penyesuaian lingkungan dan tempat kerja hingga jatuh bangun harapan dan doa yang ternyata Allah tidak mengijinkan aku untuk memilikinya. Harapan yang ternyata hanya sekedar harapan karena penghianatan (bahasanya sadis sekali haha).

Begitulah, aku memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan untuk mengusir kebiasaan over thinking ku dan melupakan rasa sakit hatiku. Memang, jangan pernah jatuh terlalu dalam dan berharap terlalu tinggi. Biar ga terlalu sakit dan kecewa.

Satu tahun di Jakarta, mengajarkanku banyak hal. Kehidupan, pertemanan, dan kemandirian. Sebulanan ini harus belajar menyesuaikan diri lagi menjadi seseorang yang lebih mandiri dan sendiri di kota ini karena setahun kemarin masih ada mbak sekarang dia sudah menikah. Jakarta, dengan hiruk pikuk keramaiannya namun kegiatanku terasa begitu monoton ketika hari kerja.

Aku mencoba menjelajahi kota ini seorang diri. Aku, gadis yang terkadang masih manja dan memilih untuk tetap tinggal di rumah kalau memang tidak ada yang menemani sudah mulai terbiasa pergi-pergi sendiri. Mencari kegiatan dan mendatangi tempat yang baru. Jakarta masih banyak tempat menarik yang menunggu untuk didatangi dan merasakan kesendirian di kota yang rame ini. Lama-lama aku menikmati kesendirian di keramaian.

Let’s start new experiences in this city!

Silent

Silent…

Bahasa yang kupelajari darimu, tapi aku masih gagal memahaminya.

Iya, akhir-akhir ini kamu memilih untuk diam. Diam tanpa balasan. Diam yang aku tak tahu apa arti bahasamu itu.

Aku menduga…

Aku berprasangka…

Namun, aku takut semua pradugaku menjadi nyata. Aku takut membayangkan seperti apa hancurnya perasaan dan kepercayaanku untuk kesekiaan kalinya.

Please, jangan pernah gunakan bahasa diam jika kamu belum pernah mengajarkanku arti bahasamu itu. Bahasa yang selalu gagal aku pelajari darimu. Bahasa yang selalu aku tangkap berbeda dari maksudmu.

Pada saat perasaan dan hati ini begitu rindu kamu, tapi yang kamu bisa beri hanya diam, aku harus apa? Kamu mau apa? Aku bisa apa selain menunggumu untuk pulang.

Terkadang lelah, terkadang harapanku mencapai titik terendah, terkadang kepercayaanku memudar, terkadang pikiranku berprasangka tak terkendali.

Apakah kamu merasa juga?

Apakah kamu juga rindu aku?

Apakah kamu rindu “kita”?

.

.

.

S u d a h l a h . . .

Mungkin…

Mungkin, aku harus pelan-pelan belajar melupakanmu…

Mungkin itu yang kamu mau dengan mendiamkanku. Jarak kita jauh, komunikasi kita semakin sulit. Aku tidak tahu lagi seperti apa kabarmu di sana. Pikiranku mulai meracau…

Aku tidak tahu apa arti diammu. Aku bukan cenayang yang bisa mengartikan setiap caramu berkomunikasi tanpa bahasa. Komunikasi kita bahkan lebih parah daripada ketika kita diam-diaman akhir tahun 2016 itu. Setidaknya kamu masih ada tanggapan atas setiap ucapanku. Sekarang? Bahkan tanpa respon satu pun. Aku ingin ditanggapi. Aku ingin mendengar kabarmu. Aku ingin komunikasi dua arah.

Jika memang kamu ingin mengakhiri hubungan ini, bukan seperti ini caranya. Bukan dengan diam dan menjauh. Bukan seperti ini seharusnya sebuah hubungan berakhir. Meskipun aku masih ingin bersamamu…

Apakah hubungan ini sebegitu tidak berartinya kah, sampai untuk mengakhirinya kamu memilih pergi begitu saja? Mungkin kamu tidak ingin menyakitiku. Tapi, diammu lebih menyakitiku daripada kita membicarakan perpisahan kita secara baik-baik. Mungkin aku bisa menerimanya. Mungkin aku bisa menerima alasanmu. Mungkin aku bisa mengikhlaskan semua kebersamaan kita..

Mungkin aku bisa melupakan senyummu dan senyumku ketika kita bersama…

Mungkinkah kita masih akan bersama dan hubungan kita baik-baik saja jika jarak tidak memisahkan kita?

Mungkinkah?